Syawwal,
Hari Raya, 'Idul Fitri, Tradisi Lebaran, dan IlaiHi Raji'ün
Oleh: Cak Ngisom
(@mokh_ngisom_msr)
“... Walitukmilü al-‘iddata wa litukabbiruLlãha
‘alã mã hadãkum wa la’allakum tasykurüna.” [QS. al-Baqarah/2: 185]
“... Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangan puasa (sebulan Ramadhan) dan supaya kamu mengagungkan Allãh (dengan takbir dan tahmid)
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” [QS. al-Baqarah/2: 185]
“Zayyanü
a’yãdakum bittakbïra.” [HR.
ath-Thabrani dari Abu Hurairah r.a.]
“Perhiasilah
hari-hari raya kamu dengan takbir.”
[HR. ath-Thabrani dari Abu
Hurairah r.a.]
Ahlan wa sahlan syahru Syawwal, selamat
‘Idul Fitri
Ilustrasi: http://rohis-facebook.blogspot.com/
Waktu dengan
keistiqamahannya terus berjalan. Setelah sebulan kita berada dalam ‘madrasah’ dan ‘tarbiyyah’ Ramadhan, melaksanakan ’the real game’ (tidak sekedar ‘training’/latihan),
yakni: ibadah shaum dan amaliyah ibadah lainnya, hari ini kita telah memasuki
bulan Syawwal, bulan peningkatan. Taqabbalallãhu
minnã wa minkum, semoga Allãh
menerima amal ibadah (puasa) kita. Selamat ‘Idul Fitri, mohon ma’af lahir bathin.
Selamat datang kembali di hari-hari penuh tantangan sekaligus perjuangan.
Mengawali momentum Syawwal
dan sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allãh (muraqabatuLlãh), tidak sekedar berhitung pahala, serta untuk
menyempurnakan ibadah Ramadhan kita, melalui tulisan ini saya mengingatkan diri
saya sendiri dan kita sekalian untuk menguatkan niat melaksanakan amalan puasa
sunnah mu’akkadah yakni puasa enam
hari bulan Syawwal.
RasuluLlãh saw.
bersabda: “Barangsiapa telah berpuasa
Ramadhan (penuh) dan kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari dalam bulan Syawwal,
maka (pahalanya) seperti berpuasa selama satu tahun.” [HR. Muslim]
Antara Ber-‘Idul Fitri, Berhari Raya, dan
Tradisi Lebaran yang Islami
Ber-‘yaumul
haflah’
atau berhari raya atau merayakan sebuah hari raya ada kemungkinan kita semua
bisa melaksanakan dan mengalaminya. Akan tetapi tidak semua kita mampu ber-‘Idul Fitri. ‘Idul Fitri adalah cara bersyukur kita kepada Allãh Subhanahu
wa Ta’alã dengan mengagungkan asma-Nya dan meneguhkan keta’atan kita
kepada-Nya. ‘Idul Fitri mempunyai makna kembalinya kaum muslimin kepada fitrah kemanusiaan dirinya dengan menempuh jalan berhenti atau tidak lagi melakukan perbuatan dosa, karena telah ber-taubatan
nasuha dan berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi melakukan perbuatan dosa
yang pernah dialami. Dan karena setelah berpuasa dengan didasari iman, ikhlas dan
semata-mata mengharap ridho Allãh serta dengan penuh kesungguhan memohon ampun
kepada-Nya, dosa-dosa kita pun diampuni oleh-Nya; atau dengan kata lain dengan penuh keinsyafan kita berhenti atau mengurangi secara drastis mencetak dosa sehingga berat
dosanya terkalahkan seiring dengan berat kebaikan-kebaikan yang dilakukan, serta memang
sudah memohon ma’af kepada semua orang yang terhadapnya seseorang pernah
berbuat salah dan dosa. Jelas, untuk ber-I’dul Fitri itu sulit (siapa bilang gampang)
dan butuh perjuangan. Jadi tidak semudah yang dibayangkan bahwa begitu keluar
dari Ramadhan sudah serta merta kita mengalami yang namanya ‘Idul Fitri. Dalam
sebuah haditsnya yang mulia Rasulullãh saw. bersabda: “Alangkah banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa
dari puasanya itu kecuali lapar dan haus dahaga belaka.” [HR. an-Nasa’i dan Ibnu Majah]
Kaitannya dengan
‘Idul Fitri, dalam merayakannya kita memiliki tradisi ‘Lebaran’, yakni tradisi
‘melebur dosa’. Sebuah tradisi yang menunjukkan kearifan karena didalamnya
terdapat amalan silaturrahim dan saling mema’afkan sebagai syarat dihapuskankannya
dosa antar manusia, setelah dosa terhadap Allãh diampuni oleh-Nya. Di dalamnya
juga ada shodaqoh dan ikram (menghormati dan memuliakan) terhadap tamu yang
bernilai ibadah. Tetapi yang sedemikian itu akan dikabulkan oleh Allãh kalau
memang didasari niat yang benar, sesuai sya’riat, dan tulus ikhlas. Dan
hendaknya silaturrahim dan memohon ma’af dilakukan tidak hanya dan jangan nanti
menunggu hari raya ‘Idul Fitri atau ’Idul Adha.
Dan kaum muslimin
memang berhak bergembira pada hari berbuka dan lebaran ini, di hari raya ‘Idul
Fitri ini. Namun, sebagai orang mukmin yang kaffah dalam ber-Islam, ‘Idul Fitri
kita sudah seharusnya dibingkai dalam nilai-nilai dan syari’at Islam. Harus
islami. Lantas, berhari raya yang islami itu yang bagaimana?
Beberapa ciri dan
cara berhari raya ‘Idul Fitri yang islami, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, tetap dalam
kesederhanaan, tidak menunjukkan kemewahan dan memboros-boroskan materi dan
harta. Karena hal tersebut dilarang oleh Allah swt., sebagaimana firmannya : ”... Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
hartamu secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara
setan dan setan itu sangat ingkar
kepada Tuhannya.” [al-Isrã’/17: 26–27].
Kedua, mempererat silaturrahim dan ukhuwwah
islamiyyah (persaudaraan dengan cara-cara syari’at Islam), saling kunjung-mengunjungi
dan tulus ikhlas mema’afkan sesama muslim. Hal ini amat dicintai oleh Allãh
sebagaimana firman-Nya: “... Dan
bertaqwalah kepada Allãh yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan [peliharalah
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allãh, selalu menjaga dan mengawasimu.” [an-Nisã’/4:
1].
Dan Rasulullah saw.
pun bersabda: “Barangsiapa yang ingin
rizqinya diperbanyak dan umurnya
diperpanjang, hendaklah ia menghubungkan silaturrahim.” [HR. Bukhari dari Abu Hurairah r.a.].
Ketiga, menghindari segala bentuk
kemaksiatan dan kemungkaran, apalagi hakikat ‘Idul Fitri merupakan kemenangan
melawan iblis. Oleh karena itu sangat disayangkan jika suasana ‘Idul Fitri
dinodai dengan hal-hal yang berbau maksiat dan kemungkaran. Dan kalau
kemaksiatan dan kemungkaran ini kita biarkan berlangsung terus akan
mempengaruhi nasib kita nanti dihadapan Allãh saat kita kembali kepada-Nya
(Ilaihi Raji’ün).
‘Idul Fitri dan Ilaihi Raji’ün
Dengan memaknai dan
menjalani ‘Idul Fitri secara islami, paling tidak seperti paparan di atas,
semoga Allãh memberikan hidayah taufiq kepada kita kembali dan senantiasa lurus
berada di jalan-Nya. Dan memang sesungguhnya segala sesuatu termasuk kita ini
milik Allãh dan hanya kepada-Nya segala sesuatu akan kembali (Innã liLlãhi wa innã
ilaiHi roji'ün) [al-Baqarah/2: 156]. Untuk kembali
keharibaan Allãh swt. dan diterima oleh-Nya kita harus dalam keadaan fitrah
atau suci, bersih dari kesyirikan dan kotoran-kotoran/najis hati serta noda
dosa [QS. as-Syu’ara/26: 88–89 dan
ash-Shaffat/37: 84]. Dan orang-orang mukmin yang masih belum suci, belum
bersih, masih ada najis hati atau masih berdosa dan belum kembali kepada
kesucian (‘Idul Fitri) ketika masih diberi kesempatan hidup di dunia fana ini;
maka sebelum diterima kembali oleh Allãh di akhirat kelak, akan disucikan di
dalam neraka terlebih dahulu [Ighatsah
al-Lahfan, hlm. 5–6].
Mestinya dengan
‘Idul Fitri kita bisa mulai memikirkaan, merenungkan, dan menentukan sikap
langkah hidup kita menjadi langkah-langkah menuju Allãh, satu-satunya Dzat
tempat kita kembali.
Oleh karena itu,
harus kita menyadari bahwa kita harus senantiasa menjaga kefitrian kita dengan
cara mengistiqomahkan (menjaga dan teguh melestarikan) kebaikan dan amal sholih
yang kita lakukan pada bulan Ramadhan dan Syawwal dalam kehidupan kita pada
bulan-bulan lain di sepanjang hayat kita. Spirit Ramadhan dan Syawwal harus
kita bawa dan mewarnai pula pada waktu di bulan-bulan berikutnya.
Bertitik tolak dari
sikap semacam itu, mulai bulan Syawwal yang artinya peningkatan inilah kita
memulai hidup baru dengan kehidupan yang lebih islami, kehidupan sesuai
syari’at Islam, kehidupan yang diridhoi oleh Allãh ‘Azza wa Jallã.
Dan mari kita kembali
bergiat dalam amal-amal shalih seraya memanjatkan do’a: semoga Allãh Subhanahu
wa Ta’alã berkenan menerima amal ibadah kita dan masih mentaqdirkan kita untuk
dipertemukan kembali dengan Ramadhan-Ramadhan berikutnya. Ãmïn, ãmïn ï
Wallãhu
a’lam bish shawab.