DESCHOOLING vs DEISLAMISASI
Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D MRINA (Guru Besar ITS dan Tokoh Pendidikan)
Semoga Pak Nadiem Makarim tidak benar-benar merusak ketenteraman beragama
dan pendidikan RI, tidak melakukan sekularisasi dan deislamisasi pendidikan yang menyebabkan Indonesia menjadi negara sekuler, menjauhi nilai-nilai agama dan terjajah.
The rise of Nadim
Makariem sebagai Mendikbud merupakan proyek sekulerisasi sebagai deislamisasi
Indonesia tahap akhir. Melalui kepemimpinan baru Kemendikbud ini, dan UU
Pesantren yang baru disahkan, syarat-syarat budaya bagi sebuah bangsa sekuler
dan terjajah akan dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masif. Setelah
sistem persekolahan massal dijadikan instrumen teknokratik bagi masyarakat
industri sekuler sejak Orde Baru, proses deislamisasi itu semakin memperoleh
kekuatan dan momentumnya di bawah rezim ini. Sekulerisasi adalah deislamisasi
karena dirancang untuk menjauhkan Islam dari kehidupan ekonomi dan politik
untuk memfasilitasi penjajahan nekolimik.
Namun
sesungguhnya sejak 1970an itu juga, Ivan Illich, seorang pastor khatolik di Mexico, justru menganjurkan deschooling. Illich yang
pernah berkunjung ke pesantren Pabelan di Magelang, melihat konsep deschooling
dalam praktek di lingkungan pedesaan Jawa. Anjuran deschooling itu oleh Illich
mungkin memang bukan untuk mencegah deislamisasi, namun untuk mencegah
pendunguan massal dalam rangka pembentukan masyarakat industri yang sekuler.
Illich berhasil membedakan antara persekolahan dan pendidikan, serta melihat
bahwa persekolahan justru merusak pendidikan. Pada saat elite Indonesia masih
menilai radikalisme sebagai ancaman bagi investasi, di tangan Makariem, sistem
persekolahan paksa massal ini tidak saja menjadi instrumen teknokratik
menyiapkan masyarakat industri, tapi sekaligus instrumen deradikalisasi sebagai
proxy deislamisasi.
Sudah sejak
10 tahun lalu, saya menganjurkan agar komunitas pendidikan mulai memikirkan
kembali deschooling: mengurangi dominasi persekolahan dalam sistem pendidikan
dengan memberi tugas-tugas pendidikan yang lebih besar pada keluarga sebagai
satuan pendidikan yang sah, dan juga pada masyarakat, terutama masjid bagi
komunitas muslim. Di samping persekolahan makin terbukti tidak efektif,
pendidikan bagi semua hanya mungkin oleh semua. Pendidikan tidak mungkin
dilaksanakan secara efektif dengan memperbesar persekolahan. Bahkan Ki Hadjar
Dewantara menegaskan tri sentra pendidikan: keluarga, masyarakat, dan
perguruan.
Perlu
dicermati bahwa persekolahan diciptakan semula untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kerja terampil sejak revolusi industri sekitar 200 tahun silam. Saat
gereja Anglikan Inggris dan Katholik Roma bersikap ambiguous terhadap keluarga,
maka memang pendidikan di Barat sangat mengandalkan persekolahan bagi
regenerasi nilai-nilai Barat yang sekuler. Lalu sejarah menyaksikan secara
lambat tapi pasti lembaga keluarga di Barat mengalami degradasi yang sangat
serius. Bahkan saat ini pernikahan sesama jenis, dan LGBT sudah dinyatakan
legal di banyak negara Barat.
Dalam
konteks keluarga itulah kita mesti mencermati bahwa menyerahkan tugas-tugas
pendidikan hanya pada persekolahan akan memperlemah keluarga dan masjid. Masjid
bertugas melengkapi pendidikan dalam keluarga. Persekolahan boleh diberi tugas
yang bersifat melengkapi seperti memberikan kecakapan-kecakapan teknis. Bagi
muslim, pembentukan adab dan akhlaq hanya bisa dilakukan secara efektif di
rumah dan di masjid.
Perlu dipahami
bahwa keluarga, masjid dan pesantren, adalah benteng terakhir Islam di
Indonesia. Persekolahan adalah ancaman laten bagi ketiga lembaga ini. Namun
segera perlu dicatat bahwa sejak lama kantong-kantong Islam adalah
kantong-kantong perlawanan terhadap penjajahan. Pembukaan dan UUD 1945 yang asli adalah rumusan perlawanan muslim menghadapi
penjajahan itu. Penjajah tahu bahwa agar penjajahan baru nekolimik bisa
berlangsung, instrumen penjajahan harus diubah wajahnya agar nampak lebih
bersahabat dan mulia: persekolahan, bukan tank, bedil dan mesiu.
Oleh karena
itulah ummat Islam Indonesia perlu segera meninggalkan paradigma schooling ini,
lalu mengambil paradigma learning (belajar). Bagi ummat Islam, pendidikan tidak
boleh lagi diwujudkan dalam pembesaran persekolahan hingga ke
pesantren-pesantren, tapi justru mengurangi persekolahan dengan memperluas
kesempatan belajar di rumah dan di masyarakat, terutama di masjid-masjid dengan
kurikulum yang mandiri dengan lebih mengutamakan relevansi personal dan spasial/lokal,
bukan mutu global mbelgedhes.
Gunung
Anyar, 24/10/2019
Photo diambil dari: https://pwmu.co/87404/01/31/no-rocky-no-fiksi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar