Refleksi dan
Introspeksi Ujian Nasional
Oleh: Mokh. Ngisom Musurur
(@mokh_ngisom_msr)
Untuk tulisan kali ini, saya sengaja mengambil dari artikel Bapak H. Muhammad Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI periode 2004-2009 yang bertajuk “Ujian Nasional” yang dimuat pada Kolom Opini Harian Kompas edisi Kamis, 2 Mei 2013 dan dipublikasikan kembali di http://www.kompasiana.com/ pada hari Jum’at, 3 Mei 2013 (kunjungi: http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/03/ujian-nasional-556657.html).
Tulisan Pak JK ini penting diangkat ke permukaan, karena saya pikir, pandangan beliau patut kita simak sebagai bahan refleksi dan introspeksi bagi pembenahan, perbaikan, dan peningkatan mutu pendidikan kita. Kondisi pendidikan kita memang masih belum mapan yang salah satunya tergambar dari karut-marutnya pelaksanaan UN selama ini dan yang paling amburadul adalah pelaksanaan UN tahun 2013 baru-baru ini yang tingkat kompleksitas dalam penyelenggaraannya memang lebih tinggi dari UN tahun-tahun sebelumnya.
Tulisan Pak JK ini penting diangkat ke permukaan, karena saya pikir, pandangan beliau patut kita simak sebagai bahan refleksi dan introspeksi bagi pembenahan, perbaikan, dan peningkatan mutu pendidikan kita. Kondisi pendidikan kita memang masih belum mapan yang salah satunya tergambar dari karut-marutnya pelaksanaan UN selama ini dan yang paling amburadul adalah pelaksanaan UN tahun 2013 baru-baru ini yang tingkat kompleksitas dalam penyelenggaraannya memang lebih tinggi dari UN tahun-tahun sebelumnya.
Kaitannya dengan pelaksanaan UN, menurut pendapat
Mohammad Fauzil Adhim dalam catatannya yang berjudul “Ujian Nasional,
Cermin Pendidikan Kita” yang dapat dibaca di: http://www.facebook.com/notes/mohammad-fauzil-adhim/ujian-nasional-cermin-pendidikan-kita/498960423486424 bahwa yang perlu dilakukan bukan menghapus UN, tetapi
membenahi mutu pembelajaran dan pendidikan di sekolah kita.
Setelah karakter peserta didik dibentuk,
integritas dan komiment dikokohkan, cinta akan ilmu dikukuhkan, budaya belajar
ditanamkan, kinerja menuntut ilmu dimantapkan, motivasi dibangun, penguasaan
konsep dan kompetensinya dikuatkan, lantas apa yang ditakutkan dari UN? Dalam
menghadapi dan menjalani UN seharusnya peserta didik, bergembira, bergairah,
dan penuh semangat. Tetapi jika sekolah abai terhadap pembentukan karakter,
tidak berhasil membelajarkan siswa, gagal membangun kompetensi, dan tidak
melakukan assessment secara berkala terhadap kompetensi siswa; guru-guru hanya
sibuk melatih peserta didik dalam mengerjakan soal. Ini yang membuat
peserta didik dilanda kecemasan dan dihantui ketakutan. Stress massal menjelang
dan disaat pelaksanaan UN merupakan indikasi adanya kesalahan mendasar dalam
proses pembelajaran. Dan ini merupakan konsekuensi logis dari keengganan guru
untuk belajar dan menjadi pembelajar sejati, ketidaksungguhan guru dalam
mendidik dan ketidakseriusan guru dalam mengajar.
Marilah, kita baca dan
pikirkan sejenak tulisan Pak JK berikut ini. Ada baiknya juga jika pembaca mau
meluangkan waktu untuk membaca catatan Mohammad Fauzil Adhim yang berjudul
“Sukses UN Tanpa Stress”: http://www.facebook.com/notes/mohammad-fauzil-adhim/sukses-un-tanpa-stress/495160487199751.
UJIAN NASIONAL
M. Jusuf Kalla; Wakil Presiden RI 2004-2009; Penggagas Ujian Nasional
KOMPAS, OPINI I Kamis, 02 Mei 2013
M. Jusuf Kalla; Wakil Presiden RI 2004-2009; Penggagas Ujian Nasional
KOMPAS, OPINI I Kamis, 02 Mei 2013
Jusuf Kalla
Photo: http://jakarta.okezone.com/
Nama: Drs.
H. Muhammad Jusuf Kalla; Lahir: Watampone, 15 Mei 1942; Agama: Islam; Jabatan
Kenegaraan: Wakil Presiden RI (2004-2009); Menko Kesra Kabinet Gotong Royong
(2001-2004); Menperindag Kabinet Persatuan Nasional (1999-2000); Pendidikan:
Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar (1967); The European Institute
of Business Administration Fountainebleu, Perancis (1977); Organisasi → 2010 - sekarang: Chairman Centrist Asia Pacific
Democrats International (CAPDI); 2009 - sekarang: Ketua Umum PMI; 2000 -
sekarang: Anggota Dewan Penasihat ISEI Pusat; 1985-1998: Ketua Umum KADIN
Sulawesi Selatan; 1994 - sekarang: Ketua Harian Yayasan Islamic Center
Al-Markaz al Islamiyah; 1992 - sekarang: Ketua IKA-UNHAS; 1988-2001: Anggota
MPR-RI; 2004-2009: Ketua Umum DPP Partai Golkar.
Orangtua, guru, pemerintah, dan anak didik mempunyai
tujuan yang sama, yaitu meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, dan penguasaan
ilmu pengetahuan generasi muda. Sebab, hanya kecerdasan dan ilmu pengetahuan
itulah yang dapat meningkatkan kemajuan kita bersama. Kita menyadari bahwa
semua itu membutuhkan kerja keras dan keseriusan semua pihak; baik orangtua,
guru, maupun murid, di samping adanya perencanaan-pelaksanaan dan anggaran dari
Negara yang mencapai 20 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) sesuai dengan Undang-Undang Dasar yang dananya akan meningkat setiap tahun.
Karena itulah, di tahun 2002 Pemerintah merasa perlu untuk mengambil
langkah-langkah terencana setelah melihat mutu pendidikan nasional yang semakin menurun.
Posisi Mutu
Tiga
indikator dapat digunakan untuk melihat mutu pendidikan kita apakah meningkat
atau menurun, yaitu:
Pertama, membandingkan mutu pendidikan kita dengan negara tetangga. Untuk itu,
pada tahun 2002 bahan ujian Ebtanas kita bandingkan dengan ujian akhir
sekolah-sekolah Singapura, Malaysia, dan Filipina, tiga negara yang dapat
dimengerti materi ujian nasionalnya karena menggunakan bahasa Inggris dan
Melayu. Materi Ujian Nasional mereka ternyata sangat mencengangkan—jauh di atas
tingkat kesulitan ujian kita—yang sekaligus menggambarkan kualitas pendidikan
di Negara tersebut.
Misalnya,
ujian Bahasa Inggris dan Matematika Sekolah Dasar di Malaysia ternyata hampir
sama dengan materi ujian SMP di Indonesia. Ini berarti Indonesia ketinggalan
tiga tahun dibandingkan dengan Malaysia. Ketiga negara ini, sebagaimana
diketahui, juga menggelar ujian nasional. Singapura bahkan melakukan Ujian
Internasional bekerjasama dengan Cambridge University.
Kedua, membandingkan keadaan pendidikan kita selama 50 tahun terakhir. Materi
ujian berhitung atau matematika murid SD pada tahun 1950-an begitu tinggi
tingkat kesulitannya dibanding materi tahun 2000. Perbandingan ini menunjukkan
terjadinya degradasi mutu pendidikan di Indonesia.
Ketiga, kita bandingkan pula mutu lulusan
masing-masing daerah dengan
melihat tingkat kelulusan tes masuk ke univesitas terbaik di Indonesia, seperti UI, ITB, IPB, dan UGM. Ternyata, tidak banyak lulusan SMA daerah khususnya KTI, yang bisa lulus, di
universitas ternama tersebut, artinya terjadi perbedaan mutu yang besar antara
sekolah di Jawa dan di luar Jawa.
Pada era
Ujian Sekolah, tingkat kelulusan tiap sekolah hampir mencapai 100 persen.
Akibatnya, timbul pemikiran: "Buat apa belajar, toh belajar dan tidak
belajar sama saja, semua juga akan diluluskan." Itulah penyebab degradasi
mutu pendidikan di negeri ini.
Nasib
pendidikan Indonesia tidak ubahnya pelompat galah. Pada tahun 1950-an, mutu
pendidikan Indonesia masih sama dengan Malaysia, bahkan Indonesia yang
mengajari Malaysia. Belakangan, kemampuan Malaysia semakin meningkat. Sementara
Indonesia, karena tidak bisa melompati galah, justru galahnya diturunkan, bukan
latihannya yang ditingkatkan
Trend Mutu Meningkat
Ketika
Ujian Nasional diujicobakan pada tahun 2002 di beberapa daerah di Indonesia,
betapa miris kita melihat hasilnya. Kepada murid diujikan soal-soal dengan
tingkat kesulitan tertentu serta standar nilai kelulusan minimal 5. Ternyata,
hanya 40 persen peserta ujian yang lulus, dan selebihnya, 60 persen, tidak
lulus. Standar kemudian diturunkan menjadi 4, masih juga 30 persen murid tidak
lulus. Karena itu, dalam UAN tahun 2003 standar nilai minimal terpaksa
diturunkan menjadi 3.5. Itu pun hasilnya 20 persen murid tidak lulus. Itulah
gambaran mutu pendidikan di Indonesia 10 tahun silam.
Untuk
memicu semangat belajar dan meningkatkan mutu standar nilai, setiap tahun
standar dicoba dinaikkan 0.5 poin, meski pada tahun 2005 hanya naikkan 0.2 poin
menjadi 4.2. Tahun ini, standar kelulusan murid kini sudah mencapai 5.5.
Disamping itu, tingkat kesulitan juga ditingkatkan. Artinya, jika dilakukan
secara konsisten, maka standar nilai kelulusan murid-murid Indonesia juga akan
terus meningkat untuk bisa mengejar ketertinggalannya dari negara lain.
Jalan Keadilan Pendidikan
Lalu, apa
beda Ujian Sekolah dan Ujian Nasional? Dalam Ujian Sekolah, pada umumnya guru
menguji apa yang telah dia ajarkan, sedangkan dalam Ujian Nasional murid diuji
apa yang seharusnya mereka ketahui, di mana pun murid itu berada di Indonesia.
Dengan demikian, tingkat kecerdasan manusia Indonesia akan merata antara
murid-murid yang sekolah di Jakarta dengan mereka yang bersekolah di
daerah-daerah.
Hal itu
penting agar jangan ada perbedaan yang mencolok pada mutu pendidikan generasi
muda. Selalu ada pertanyaan dengan alasan bahwa mutu pendidikan dan guru
berbeda. Justru di situlah dibuat standar nasional agar mutu sekolah-sekolah
yang selama ini rendah terus ditingkatkan. Dan pada saat yang sama, mutu guru
ditingkatkan dan fasilitas sekolah diperbaiki.
Sejalan
dengan itu, pada awal diterapkannya Ujian Nasional, ada pertukaran kepala
sekolah dari SMA yang baik di Jawa dengan SMA sekolah-sekolah di daerah. Wakil
kepala sekolah di SMA yang baik di Jawa menjadi kepala sekolah di daerah-daerah
luar Jawa. Sebaliknya, kepala sekolah di luar Jawa menjadi wakil kepala sekolah
di Jawa selama enam bulan. Dengan demikian, akan ada pembauran budaya dalam
mengajar. Selama program ini berjalan, ratusan kepala sekolah telah
dipertukarkan. Hal itu pada kenyataannya memberikan budaya belajar yang lebih
baik, khususnya sekolah-sekolah di Indonesia timur.
Ada
pandangan bahwa Ujian Nasional menyulitkan siswa., memang siswa harus lebih
keras cara belajarnya. Demikian pula ada yang berpendapat, lebih baik
memberikan suasana yang enak untuk belajar pada anak. Pendapat itu benar,
tetapi tidak seenaknya.
Kita
bersyukur, selama ini setelah Ujian Nasional diperlakukan dengan ketat,
ternyata tawuran juga sangat berkurang, karena anak lebih berkonsentrasi
belajar dan tidak berkeliaran.
Jadi, Ujian
Nasional tidaklah bermaksud menyiksa anak didik, tetapi bertujuan meningkatkan
dan membangun keadilan mutu pendidikan. Memang ada juga murid, guru, dan
orangtua yang stress karenanya, tetapi semua harus dilalui
dengan keyakinan dan usaha keras. Soal stress atau tegang akan selalu dialami dalam
hidup ini apabila menghadapi tantangan-tantangan, apakah itu ujian, atau saat
melamar kerja. Kita juga dengan gembira melihat puluhan ribu siswa berdoa
bersama, istighosah sebelum menghadapi ujian.
Tidak ada
bangsa yang maju tanpa pendidikan yang baik, dan tidak akan ada pendidikan yang
baik tanpa keseriusan dan kerja keras.
Solusi Teknis
Kendala
teknis pelaksanaan Ujian Nasional yang terjadi pada tahun 2013 ini adalah
masalah teknis logistik. Karena itu, perlu dicari solusinya mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Misalnya, dengan penyederhanaan
sistem logistik sehingga lebih dekat ke daerah. Konten soal-soal ujian harus
dibuat dari pusat agar tetap dijaga mutu pendidikan nasional, tetapi
mencetaknya cukup di daerah seperti sistem cetak jarak jauh pada surat kabar.
Kalau ada pelanggaran secara pidana agar ditindak tegas sehingga tidak terulang
lagi. Kualitas pendidik juga harus terus ditingkatkan sehingga mutu yang
dihasilkan menjadi semakin baik dari tahun ke tahun untuk mencapai generasi
muda yang cerdas dan maju. Pendidikan hari ini baru akan dicapai hasilnya
setelah 10 tahun ke depan, dan itu adalah milik mereka yang mau berusaha dan
bekerja keras.
(Tulisan ini dimuat pada Kolom Opini Harian Kompas edisi Kamis, 2 Mei 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar