Uraian Amanat Pembina
Upacara Bendera hari Senin, 10 Agustus 2015
Assalâmu'alaykum ââ
Innalhamdaliâh nahmaduhu wanasta’ïnuhu
wanastaghfiruh wana’uudzu biâhi
min syuruuri anfusinâ wa min sayyiâti a’mâlinâ man yahdiâhu falâ mudhilla lahu wa man
yudhlil falâ hâdiya lahu, wa asyhadu anlâ ilâha illaâh wahdahu lâ syarïka lahu wa
asyhadu anna muhammadan ‘abduhu warasuluuhu, ammâ ba’du.
Mengawali amanat
saya dalam upacara bendera hari Senin ini kali, marilah kita panjatkan rasa syukur kita kepada Allâh Subhânahu
wa Ta’âlâ atas rahmat
dan berkah yang dicurahlimpahkan kepada kita semua.
Shalawat dan
salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad
shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga, para sahabat, serta para
pengikut-pengikut beliau hingga akhir zaman.
Rabbisy
rahli shadrï wayassirly amrï
wahlul 'uqdatam millisânïyafqahuu qauly.
Yang
terhormat Bapak Kepala SMP Negeri 2 Kunjang, Bapak Sunaryo, S.Pd., M.Pd., yang
terhormat Wakil Kepala Sekolah dan Staf, yang terhormat Ibu dan Bapak Guru,
yang terhormat Tenaga Kependidikan (Tata Usaha beserta Staf), Yang terhormat
para Karyawan, serta anak-anak didik kami sekalian yang saya hormati, hargai,
cintai, kasihi, dan sayangi.
Pada kesempatan yang baik ini, saya diberi mandat sebagai pembina upacara dan mendapat bagian menyampaikan materi amanat pembina upacara dengan tajuk: “Mewujudkan Kerukunan”.
Pada kesempatan yang baik ini, saya diberi mandat sebagai pembina upacara dan mendapat bagian menyampaikan materi amanat pembina upacara dengan tajuk: “Mewujudkan Kerukunan”.
Tetapi, sebelum saya memaparkan uraian tentang bagaimana menjadikan wujud kerukunan benar-benar ada; baiklah, mari kita evaluasi jalannya pelaksanaan upacara sejauh ini. Pelaksanaan Upacara Bendera pada setiap hari Senin hendaknya jangan hanya sebagai seremonial belaka dan rutinitas yang kurang bermakna. Tapi marilah setiap kegiatan upacara kita gunakan sebagai wahana memupuk jiwa patriotisme dan kedisiplinan. Seluruh petugas upacara dan segenap peserta hendaknya menjalankannya dengan bahagia, sepenuh hati, sungguh-sungguh, hikmad dan tertib. Sehingga upacara dapat berdampak pada peningkatan kualitas ruhiyyah, fikriyyah, dan jasmaniah kita sekalian. Jalani proses mempersiapkan diri dengan baik. Siapa yang naik panggung tanpa persiapan yang baik, bersiaplah menanggung rasa malu ketika turun panggung.
Segenap civitas akademika dan stake holder SMP Negeri 2 Kunjang tercinta yang dimuliakan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, sekarang, izinkanlah orang bodoh yang tak kunjung pintar ini berbicara. Perkenankanlah hamba berlumuran dosa yang taubatnya masih sebatas wacana ini berkaca. Mohon ikhlas, mohon bersabar. Sehingga kita dianugerahi ilmu Allâh dan masuk dalam file akal fikiran dan hati kita dengan baik dan berujung pada pemahaman dan pengamalan.
A‘uudzu biâhi minasy-syaythânirrajïm, bismiâhirrahmânirrahïm,
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sungguh, Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (Q.S. al-Hujurât [49]: 13)
“Tidaklah seseorang di antara kalian dikatakan beriman, hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Pendahuluan
Kemajemukan masyarakat di Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Sudah merupakan sunatuLlâh. Ia telah menjadi bagian yang telah terintegrasi sejak mula bersamaan dengan lahirnya bangsa ini. Kemajemukan yang ada harus dikelola dengan baik. Jikalau tidak, kemajemukan ini akan menjadi kontra-produktif. Kemajemukan memang seperti pisau bermata dua. Dia bisa menjadi sesuatu yang mendukung berkembangnya masyarakat, tetapi juga bisa menghambat. Mendukung ketika kemajemukan itu menjadi kekuatan supportif untuk mendukung berbagai-bagai cita-cita masyarakat; dan menghambat bila kemajemukan malah menjadi sumber konflik primordial yang menghabiskan energi hanya untuk mengatasinya.
Kebhinnekaan, sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia sudah menjadi kesadaran kolektif the founding fathers bangsa ini. Karenanya mereka membingkai keberagaman masyarakat dan bangsa majemuk ini dengan Pancasila dan UUD 1945. Kehidupan masyarakat yang hiterogen memberikan warna dalam beraktivitas bagi manusia yang ditakdirkan Allâh sebagai makhluk sosial. Kehidupan diisi oleh banyak manusia yang memiliki berbagai karakter, pemikiran, pendapat, pandangan, sifat, visi dan misi. Individu satu dengan yang lain tidak lah sama. Tidak bisa dipungkiri, kehidupan hiterogen telah menghiasi kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, kehidupan yang majemuk tersebut akan mempengaruhi aspek sosial dalam hal kerukunan. Kerukunan tersebut akan sangat mempengaruhi aspek sosial. Manakala kerukunan terjalin dengan baik maka kesatuan dan persatuan akan tercipta. Sebaliknya, manakala masyarakat tidak menjalin kerukunan, maka akan menyebabkan perselisihan, pertengkaran, pertentangan, dan kerusuhan antar sesama di suatu wilayah tertentu. Thus, kerukunan dapat dikatakan sebagai suatu situasi atau kondisi dimana kenyamanan, ketentraman, kedamaian yang tercipta dalam aktivitas kontak interaksi sosial.
Pengertian Kerukunan
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dasar kerukunan adalah rukun yang artinya baik dan damai, hubungan persahabatan, bersatu hati, bersepakat, tidak saling berselisih, dan tidak bertengkar.
“Rukun” dari bahasa Arab “ruknun” artinya asas-asas atau dasar, seperti rukun Islam. Rukun iman dalam arti adjektiva adalah baik atau damai. Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 2015: 850). Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.
Kerukunan adalah adanya perasaan bersatu, sependapat, sekepentingan, sepenanggungan, sepertujuan, sevisi, seperjuangan yang dibingkai dalam ikatan persaudaraan, persahabatan, kesetiakawanan, saling menghargai, saling menghormati dan saling menyayangi/mencintai, menyejahterakan, menyelamatkan serta menjauhi permusuhan, menghindari perselisihan, meninggalkan pertengkaran.Kerukunan dapat dinyatakan dengan istilah “tasamuh” atau toleransi. Dan yang di maksud dengan toleransi ialah kerukunan sosial kemasyarakatan, bukan dalam bidang aqidah (keimanan), karena aqidah telah digariskan secara jelas dan tegas dalam ad-dien.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kerukunan antar sesama di masyarakat adalah asas-asas atau dasar yang dijadikan untuk menciptakan suasana damai, tenteram, harmonis dalam masyarakat yang dilandasi sikap toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaram agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.
Kembali Kepada “Toleransi”
Menyikapi perbedaan-perbedaan, hiterogenitas, multikultural, dan kemajemukan atau kebhinnekaan yang ada nyata di masyarakat, kita bisa menerapkan teori toleransi dengan pendekatannya. Dengan pendekatan “toleransi” yang sudah dipraktikkan selama ratusan tahun sepanjang sejarah kemasyarakatan manusia bahwa kerukunan di dalam masyarakat dan kohesi sosial dapat diwujudkan dengan baik tanpa kecurigaan dari pihak manapun. Dengan toleransi tersebut diharapkan terwujud ketenangan, saling menghormati dan saling menghargai. Hal itu akan mewujudkan perikehidupan yang rukun, tertib dan damai, sehingga dengan keadaan yang demikian itu dapat terlaksana pembangunan masyarakat dan bangsa.
Urgensi Kerukunan
Kerukunan merupakan perhimpunan yang damai atau persatuan yang menumbuhkan sikap saling menghargai dalam komunitas yang beragam atau masyarakat yang berbeda-beda. Ciri kerukunan adalah hidup damai tanpa konflik. Ibaratnya seperti es campur yang bahannya berbeda (gula, air, santan, es, alpukat, kelapa muda, nangka, melon, semangka, sawo, nanas, susu, coklat, puding, rumput laut, cincau, dlsb.) namun menciptakan cita rasa yang nikmat.
Persatuan dan kerukunan umat merupakan pilar awal dan pondasi hakiki terjalinnya ukhuwah (persaudaraan) dalam masyarakat. Dengan kata lain tanpa adanya persatuan dan kerukunan dalam masyarakat, akan sulit terwujudnya suatu masyarakat yang berukhuwwah. Tanpa ukhuwwah kita tidak dapat mengolah dan mengubah daulah yang berkah.
Kerukunan dan persatuan merupakan aspek penting dalam membangun kehidupan. Termasuk dalam membangun, mengembangkan dan memajukan pendidikan, pengajaran, kebudayaan dan persekolahan dengan segala aspek dan kompleksitasnya.
Memperkukuh persatuan dan kerukunan menjadi syarat mutlak untuk mencapai cita-cita mulia dan visi yang tinggi. Ia menjadi inti dari kedamaian, ketentraman, kenyamanan, dan keharmonisan dalam masyarakat yang memudahkan kita untuk bekerja mengais rezeki, belajar menuntut ilmu, mengamalkan ajaran agama, melaksanakan pembangunan, dan lain sebagaianya. Menimbulkan ketentraman dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Menjadi pilar utama untuk memberdayakan potensi dan membangun masyarakat ke arah yang lebih maju dan berperadaban. Menjadi tolak ukur solidaritas kemanusiaan yang akan mengantarkan ke arah keadilan sosial dan kesejehteraan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Memiliki dampak bagi terciptanya masyarakat yang beradab dan sebagai sarana mendapat rahmat Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ. Di titik-titik simpul inilah letak betapa sangat pentingnya kerukunan.
Sikap dan Usaha untuk Mewujudkan Kerukunan
Untuk mewujudkan pranata sosial kemasyarakatan yang dinuansai kerukunan, kita dapat mengambil sikap dan melakukan usaha serta berkomitmen dengan penuh integritas untuk tidak melakukan perbuatan yang menjadi sumber penyebab runtuhnya persatuan dan kerukunan, antara lain dengan tindakan nyata, sebagai berikut:
a. Benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran agama secara menyeluruh dengan baik dan benar; jangan berperilaku yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran agama;
b. Saling cinta, kasih, dan sayang antar sesama dengan tulus ikhlas, sesuai hukum Allâh dan karena Allâh;
c. Adanya cita-cita bersama untuk mengembangkan semangat kerukunan dan persatuan kebangsaan yang sama;
d. Kita harus menjadi manusia yang bersaudara dan harus mengukuhkan persaudaraan, tidak boleh menganiaya dan menyakiti sesamanya, tidak berdusta, tidak melecehkan dan menghinakannya;
e. Tidak mendholimi satu sama lain;
f. Tidak saling merusak dan mengganggu;
g. Tidak berbuat curang;
h. Tidak saling memperolok-olok orang lain baik laki-laki maupun perempuan;
i. Tidak mencaci orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan;
j. Tidak memanggil orang lain dengan gelar-gelar yang tidak disukai;
k. Tidak menggunjing, ghibah, dan memfitnah;
l. Tidak merendahkan harga diri kehormatan orang lain, (merendahkan harga diri dan kehormatan orang lain sama dengan meninggikan kehormatan dan harga diri orang yang direndahkan dan memerosotkan kehormatan dan harga diri orang yang merendahkan kehormatan dan harga diri orang lain itu sendiri);
m. Saling hormat menghormati, menjaga harta, jiwa dan raganya;
n. Saling pengertian dan haga menghargai serta mempererat silaturrahim;
o. Dibutuhkan komunikasi dan dialog yang baik, toleransi dan tenggang rasa;
p. Selalu menjaga nama baik saudaranya, tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain (Lihatlah kelebihan saudara kita dan koreksi kesalahan diri sendiri);
q. Gotong royong atau tolong menolong dalam berbuat kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong untuk berbuat dosa dan pelanggaran;
r. Bersikap ikhlas bila membantu orang yang membutuhkan;
s. Mengamalkan sikap saling peduli, solidaritas dan kesetiakawanan sosial;
t. Mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, bersikap arif dan bijak, serta keadilan sosial;
u. Selalu bertutur kata yang santun, baik, benar, dan bermanfa’at serta menghindari perkataan yang kotor dan melukai hati orang lain;
v. Menebarkan senyuman, salam, sapa, sopan, santun karena hal tersebut termasuk sedekah dan ibadah serta dapat melembutkan hati dan menyenangkan orang lain;
w. Menjadikan segala perbedaan warna kulit dan keturunan serta ras dan suku bangsa untuk saling ta’aruf, mengadakan hubungan timbal balik secara baik;
x. Tidak membeda-bedakan pergaulan atas dasar status sosial ekonomi, pangkat jabatan, akan tetapi bergaul dengan orang yang sholih dan bertaqwa, memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, luas, dan dalam;
y. Tidak suka berburuk sangka atau menuduh orang lain karena akan menimbulkan perasaan sakit hati. Akan tetapi apabila terjadi sebaliknya terhadap diri kita, maka ma’afkanlah dan do’akan agar mereka menyadari kesalahannya;
z. Jangan menghasut atau menjadi provokator dan mengadu domba yang menimbulkan kebencian dan permusuhan;
aa. Tidak suka membuka aib orang lain dan selalu berusaha mendamaikan pertengkaran dan persengketaan;
bb. Tidak boleh berprasangka buruk, saling curiga mencurigai, harus selalu ditumbuh kembangkan sikap bertabayyun dan husnuddhan;
cc. Mencari dan sepakat dalam persamaan serta menghargai dan menghormati setiap perbedaan;
dd. Dan lain sebagainya.
Penutup
Masyarakat kita memiliki keunikan dan keberagamannya tersendiri di dalam membangun, memelihara, membina, mempertahankan, dan memberdayakan kerukunannya. Upaya-upaya berkaitan dengan kerukunan tersebut merupakan sebuah proses tahap demi tahap yang harus dilalui secara seksama agar perwujudan kerukuanan benar-benar dapat tercapai. Di samping itu, ia juga merupakan upaya terus-menerus tanpa henti dan hasilnya tidak diperoleh secara instan.
Dan seandainya kondisi ideal kerukunan tersebut sudah tercapai bukan berarti sudah tidak diperlukan lagi upaya untuk memelihara dan mempertahankannya. Justru harus ditingkatkan kewaspadaan agar pihak-pihak yang secara sengaja ingin merusak keharmonisan kerukunan hidup. Karena itu kerukunan umat beragama sangat tergantung dan erat kaitannya dengan stabilitas ketahanan dan kondisi dinamis masyarakat.
Perlunya diperkuat empat pilar pokok yang sudah disepakati bersama berserta pengamalannya oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai nilai-nilai perekat bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat nilai tersebut merupakan kristalisasi nilai-nilai yang digali dari budaya asli bangsa Indonesia. Kerukunan dan keharmonisan hidup seluruh masyarakat akan senantiasa terpelihara dan terjamin selama nilai-nilai tersebut dipegang teguh secara konsekwen oleh masing-masing warga negara.
Perdamaian dan kerukunan yang didambakan, bukankah yang bersifat semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap insan. Karena itu, langkah pertama yang dilakukannya adalah mewujudkannya dalam jiwa setiap pribadi. Setelah itu ia melangkah kepada unit terkecil dalam masyarakat yakni keluarga. Dari sini ia beralih ke masyarakat luas, seterusnya kepada seluruh bangsa di permukaan bumi ini, dan dengan demikian dapat tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud hubungan harmonis serta toleransi dengan semua pihak.
Rukun agawe santoso, crah agawe bubrah; Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh; Friendship, brotherhood, tolerance, peace, and love. Satu musuh sudah terlalu banyak, sejuta sahabat masih kurang. Dan, hidup rukun itu indah.
Rasanya
Belum terlalu lamaTernyata sudah 70 tahun kita dinyatakan merdeka(Ingin rasanya bertanya kepada kita semua)
Sudahkan kita benar-benar merdeka?
Ingin rasanya aku sekali lagi menguak angkasa
dengan pekik yang menggema perkasa: Merdeka!
Wallâhu a’lamu bi al-shawwâb,
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga ada bermanfa’at dan berkah.
Billahi fii sabilil haq, fastabiqul khairat,
Wallahul muwafiq Ila aqwamith thoriq,
Wabillahi taufiq wal hidayah,
Wassalâmu'alaykum ââ