Halaman

Minggu, 09 Juni 2013

Analisisa Sederhana ‘Hujan Bulan Juni’, a Poem by Sapardi Djoko Damono

SOUNDSCAPE HUJAN BULAN JUNI
Oleh: Mokh. Ngisom Musurur [https://twitter.com/mokh_ngisom_msr]

Puisi Hujan Bulan Juni (June Rain) karya Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, seperti puisi-puisi beliau lainnya memang begitu mengharu biru relung-relung kalbu. Liriknya berirama euphony yang bunyinya terasa teduh dan harmonis. Hujan dalam imaji dan puisi Pak Sapardi menjelma menjadi suatu lanskap ritmis, di mana kita dapat menganalogkan sebagai satu sajian soundscape’ (pemandangan yang berupa bunyi atau nada) nan indah. Lanskap hujan menjadi sumber melodrama dan cerita humanitas tanpa batas. Tiap baris disajikan dengan kata yang halus lembut dan dengan gaya bahasa kiasan yang personifikatif dimana akan kita dapati dalam kata hujan dikiaskan sebagai manusia yang bersikap tabah, bijak, dan arif.



Beliau dapat mengilustrasikan dan mengibaratkan sesuatu dari sudut pandang atau hal-hal yang jarang terpikirkan oleh orang lain. Puisi 'Hujan Bulan Juni' dapat ditafsirkan sebagai simbol dari sebuah penantian. Hal yang dinantikan pada bulan Juni, musim kemarau itu adalah hujan. Saya dapat berkata demikian melihat dari pilihan kata yang diambilnya. Semisal, ‘bulan Juni’ merupakan bulan di musim kemarau yang jarang terjadi hujan. Dalam siklus musim, kemungkinannya sangat kecil untuk turun hujan di negeri kita Indonesia pada bulan Juni, karena bulan Juni termasuk dalam musim kemarau. Walaupun memang, akibat perubahan iklim global, pada akhir-akhir ini tidak demikian. Ya, itulah keunikan yang dapat ditangkap dan yang saya maksud sebagai sesuatu hal yang tidak sering dipikirkan kebanyakan orang.

Puisi ini terdiri dari 12 baris, memiliki 6 subide (semacam alinea dalam narasi prosa). Masing-masing alinea memiliki fragmen dan gambaran tertentu, yaitu: 1) ketabahan seseorang dalam penantian panjang akan sesuatu yang diharapnya, 2) kerinduan mendalam yang dirahasiakan, 3) penantian yang bijak penuh akal budi, 4) penghapusan masa lalu yang menimbulkan keraguan, 5) kearifan dan keihlasan dalam penantian, 6) penantian yang berbuah kebahagiaan dipenghujungnya.

Puisi ini menceritakan mengenai ketabahan dalam menahan kerinduan tak terperi dan kearifan serta kebijakan memendam cinta yang diibaratkan oleh hujan dan pohon bunga itu. Makna dari perumpamaan puisi ini adalah bahwa meskipun seseorang mencintai orang lain dalam hati saja, akan tetapi orang tersebut dapat menunjukkan rasa cintanya kepada orang yang dia cintai melalui sikap, perilaku, dan pemberian yang tulus tanpa pengharapkan balasan atau imbalan apapun, seperti tetes air hujan yang diserap akar pohon bunga itu. Begitu mengilhami dan menyentuh.

Salam sastra berperadaban.

Selanjutnya, yang hendak mengapresiasi, silakan menyimak lirik puisinya, mendengarkan musikalisasi puisinya, dan menyaksikan videonya, pada link yang tertera di bawah lirik puisi 'Hujan Bulan Juni' berikut ini. Selamat meresapi dan menghayatinya. Semoga mampu menguatkan jiwa-jiwa rindu para pecinta dengan ketabahan, kearifan, dan kebijakan:

HUJAN BULAN JUNI

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Musikalisasi puisinya, antara lain dapat didengar dan dilihat di link situs-situs berikut ini: 




Sabtu, 01 Juni 2013

Celoteh Singkat Memperingati Hari 'Lahirnja Pantja-Sila'

SUDAHKAH PANCASILA MENJADI PAMEO?
Oleh: Mokh. Ngisom Musurur [@mokh_ngisom_msr]

Ilustrasi: http://coretanpinggir.wordpress.com/ di http://www.dagelanwayang.com/

Melalui lirik lagunya yang berjudul "Bangunlah Putra Putri Ibu Pertiwi" –bagi yang  ingin menyimaknya, silakan mengunjungi: http://www.youtube.com/watch?v=W3hAEKRn-Ag–, Bang Iwan Fals berujar: ... "Garuda bukan burung perkutut. ... Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut." ....

Sementara Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dalam sebuah kolomnya yang bertajuk "Persoalan-persoalan Kebudayaan Konkret Sekaligus Abstrak (2)" –bagi yang ingin membacanya, pembaca dapat membuka di: http://www.maiyah.net/2009/03/persoalan-persoalan-kebudayaan-konkret.html menyatakan: ... "Dengan demikian Pancasila tidak menyediakan jawaban bagi pertanyaan kebudayaan Indonesia. Ia justru menunggu jawaban itu: ia adalah ruh yang menunggu badannya tiba. ....

Dan barangkali sebagian dari kita berseloroh: "Pancasila itu ter(masuk) dalam mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) kita doeloe, juga sempat beberapa kali disuruh mengikuti Penataran P4-nya. Pancasila hanya dijadikan sebatas slogan, tanpa memiliki model praktis dan praksis dalam memecahkan persoalan hidup masyarakat dan masalah kehidupan berbangsa bernegara. Pancasila kita relakan diserang neo kolonialisme, imperialisme, materialisme, kapitalisme; kita biarkan diciderai oleh hedonisme, sekularisme, pluralisme salah wacana, dan liberalisme membabibuta dengan cara licik pula. Pancasila diam-diam sudah dijadikan mitos yang pelan-pelan menjauh dari tujuan atau cita-cita masyarakat Indonesia. Pancasila hanyalah sekedar kata-kata yang dihafal-hafal anak-anak TK dan SD kakak-kakanya. Pancasila cuma menjadi sebuah jargon yang secara koor ramai-ramai dikomat-kamitkan anak-anak sekolah beserta guru-gurunya serta para pegawai dikantornya pada saat upacara, tanpa penghayatan, tanpa pengamalan. Pancasila sekarang letaknya ada di pantat anak-anak muda kita. Pancasila bahkan diinjak-injak oleh sepatu para penguasa. Pancasila menjadi sekedar gambar pajangan di dinding kantor dan sekolah, berada di antara foto Peresiden SBY dan Boediono wakilnya. Apakah Pancasila memang sudah menjadi semacam pameo? Dan Pancasila pun kini nelangsa, Pancasila hatinya menderita, Pancasila terluka perasaanya, Pancasila bersedih nuraninya, Pancasila merintih sukmanya.... Ha... ha... ha... ha... ha....

Salam blogger persaudaraan.

Cak Ngisom