Halaman

Kamis, 08 Agustus 2013

Catatan Kecil di Momentum 'Idul Fitri Syawwal 1434 H

Syawwal, Hari Raya, 'Idul Fitri, Tradisi Lebaran, dan IlaiHi Raji'ün
Oleh: Cak Ngisom (@mokh_ngisom_msr)

“... Walitukmilü al-‘iddata wa litukabbiruLlãha ‘alã mã hadãkum wa la’allakum tasykurüna.” [QS. al-Baqarah/2: 185]
“... Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan puasa (sebulan Ramadhan) dan supaya kamu mengagungkan Allãh (dengan takbir dan tahmid) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” [QS. al-Baqarah/2: 185]

“Zayyanü a’yãdakum bittakbïra.” [HR. ath-Thabrani dari Abu Hurairah r.a.]
“Perhiasilah hari-hari raya kamu dengan takbir.” [HR. ath-Thabrani dari Abu Hurairah r.a.]

Ahlan wa sahlan syahru Syawwal, selamat ‘Idul  Fitri

 
Ilustrasi: http://rohis-facebook.blogspot.com/


Waktu dengan keistiqamahannya terus berjalan. Setelah sebulan kita berada dalam ‘madrasah’ dan ‘tarbiyyah’ Ramadhan, melaksanakan ’the real game’ (tidak sekedar ‘training’/latihan), yakni: ibadah shaum dan amaliyah ibadah lainnya, hari ini kita telah memasuki bulan Syawwal, bulan peningkatan. Taqabbalallãhu minnã wa minkum, semoga Allãh menerima amal ibadah (puasa) kita. Selamat ‘Idul Fitri, mohon ma’af lahir bathin. Selamat datang kembali di hari-hari penuh tantangan sekaligus perjuangan.  

Mengawali momentum Syawwal dan sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allãh (muraqabatuLlãh), tidak sekedar berhitung pahala, serta untuk menyempurnakan ibadah Ramadhan kita, melalui tulisan ini saya mengingatkan diri saya sendiri dan kita sekalian untuk menguatkan niat melaksanakan amalan puasa sunnah mu’akkadah yakni puasa enam hari bulan Syawwal.
RasuluLlãh saw. bersabda: “Barangsiapa telah berpuasa Ramadhan (penuh) dan kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari dalam bulan Syawwal, maka (pahalanya) seperti berpuasa selama satu tahun.” [HR. Muslim]

Antara Ber-‘Idul Fitri, Berhari Raya, dan Tradisi Lebaran yang Islami

Ber-‘yaumul haflah’ atau berhari raya atau merayakan sebuah hari raya ada kemungkinan kita semua bisa melaksanakan dan mengalaminya. Akan tetapi tidak semua  kita mampu ber-‘Idul Fitri. ‘Idul Fitri adalah cara bersyukur kita kepada Allãh Subhanahu wa Ta’alã dengan mengagungkan asma-Nya dan meneguhkan keta’atan kita kepada-Nya. ‘Idul Fitri mempunyai makna kembalinya kaum muslimin kepada fitrah kemanusiaan dirinya dengan menempuh jalan berhenti atau tidak lagi melakukan perbuatan dosa, karena telah ber-taubatan nasuha dan berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi melakukan perbuatan dosa yang pernah dialami. Dan karena setelah berpuasa dengan didasari iman, ikhlas dan semata-mata mengharap ridho Allãh serta dengan penuh kesungguhan memohon ampun kepada-Nya, dosa-dosa kita pun diampuni oleh-Nya; atau dengan kata lain dengan penuh keinsyafan kita berhenti atau mengurangi secara drastis mencetak dosa sehingga berat dosanya terkalahkan seiring dengan berat kebaikan-kebaikan yang dilakukan, serta memang sudah memohon ma’af kepada semua orang yang terhadapnya seseorang pernah berbuat salah dan dosa. Jelas, untuk ber-I’dul Fitri itu sulit (siapa bilang gampang) dan butuh perjuangan. Jadi tidak semudah yang dibayangkan bahwa begitu keluar dari Ramadhan sudah serta merta kita mengalami yang namanya ‘Idul Fitri. Dalam sebuah haditsnya yang mulia Rasulullãh saw. bersabda: “Alangkah banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan haus dahaga belaka.” [HR. an-Nasa’i dan Ibnu Majah]

Kaitannya dengan ‘Idul Fitri, dalam merayakannya kita memiliki tradisi ‘Lebaran’, yakni tradisi ‘melebur dosa’. Sebuah tradisi yang menunjukkan kearifan karena didalamnya terdapat amalan silaturrahim dan saling mema’afkan sebagai syarat dihapuskankannya dosa antar manusia, setelah dosa terhadap Allãh diampuni oleh-Nya. Di dalamnya juga ada shodaqoh dan ikram (menghormati dan memuliakan) terhadap tamu yang bernilai ibadah. Tetapi yang sedemikian itu akan dikabulkan oleh Allãh kalau memang didasari niat yang benar, sesuai sya’riat, dan tulus ikhlas. Dan hendaknya silaturrahim dan memohon ma’af dilakukan tidak hanya dan jangan nanti menunggu hari raya ‘Idul Fitri atau ’Idul Adha.

Dan kaum muslimin memang berhak bergembira pada hari berbuka dan lebaran ini, di hari raya ‘Idul Fitri ini. Namun, sebagai orang mukmin yang kaffah dalam ber-Islam, ‘Idul Fitri kita sudah seharusnya dibingkai dalam nilai-nilai dan syari’at Islam. Harus islami. Lantas, berhari raya yang islami itu yang bagaimana?

Beberapa ciri dan cara berhari raya ‘Idul Fitri yang islami, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, tetap dalam kesederhanaan, tidak menunjukkan kemewahan dan memboros-boroskan materi dan harta. Karena hal tersebut dilarang oleh Allah swt., sebagaimana firmannya : ”... Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” [al-Isrã’/17: 26–27].
Kedua, mempererat silaturrahim dan ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan dengan cara-cara syari’at Islam), saling kunjung-mengunjungi dan tulus ikhlas mema’afkan sesama muslim. Hal ini amat dicintai oleh Allãh sebagaimana firman-Nya: “... Dan bertaqwalah kepada Allãh yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan  [peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allãh, selalu menjaga dan mengawasimu.”  [an-Nisã’/4: 1].
Dan Rasulullah saw. pun bersabda: “Barangsiapa yang ingin rizqinya diperbanyak dan umurnya diperpanjang, hendaklah ia menghubungkan silaturrahim.” [HR. Bukhari dari Abu Hurairah r.a.].
Ketiga, menghindari segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran, apalagi hakikat ‘Idul Fitri merupakan kemenangan melawan iblis. Oleh karena itu sangat disayangkan jika suasana ‘Idul Fitri dinodai dengan hal-hal yang berbau maksiat dan kemungkaran. Dan kalau kemaksiatan dan kemungkaran ini kita biarkan berlangsung terus akan mempengaruhi nasib kita nanti dihadapan Allãh saat kita kembali kepada-Nya (Ilaihi Raji’ün).

‘Idul Fitri dan Ilaihi Raji’ün

Dengan memaknai dan menjalani ‘Idul Fitri secara islami, paling tidak seperti paparan di atas, semoga Allãh memberikan hidayah taufiq kepada kita kembali dan senantiasa lurus berada di jalan-Nya. Dan memang sesungguhnya segala sesuatu termasuk kita ini milik Allãh dan hanya kepada-Nya segala sesuatu akan kembali (Innã liLlãhi wa innã ilaiHi roji'ün) [al-Baqarah/2: 156]. Untuk kembali keharibaan Allãh swt. dan diterima oleh-Nya kita harus dalam keadaan fitrah atau suci, bersih dari kesyirikan dan kotoran-kotoran/najis hati serta noda dosa [QS. as-Syu’ara/26: 88–89 dan ash-Shaffat/37: 84]. Dan orang-orang mukmin yang masih belum suci, belum bersih, masih ada najis hati atau masih berdosa dan belum kembali kepada kesucian (‘Idul Fitri) ketika masih diberi kesempatan hidup di dunia fana ini; maka sebelum diterima kembali oleh Allãh di akhirat kelak, akan disucikan di dalam neraka terlebih dahulu [Ighatsah al-Lahfan, hlm. 5–6].

Mestinya dengan ‘Idul Fitri kita bisa mulai memikirkaan, merenungkan, dan menentukan sikap langkah hidup kita menjadi langkah-langkah menuju Allãh, satu-satunya Dzat tempat kita kembali.

Oleh karena itu, harus kita menyadari bahwa kita harus senantiasa menjaga kefitrian kita dengan cara mengistiqomahkan (menjaga dan teguh melestarikan) kebaikan dan amal sholih yang kita lakukan pada bulan Ramadhan dan Syawwal dalam kehidupan kita pada bulan-bulan lain di sepanjang hayat kita. Spirit Ramadhan dan Syawwal harus kita bawa dan mewarnai pula pada waktu di bulan-bulan berikutnya.

Bertitik tolak dari sikap semacam itu, mulai bulan Syawwal yang artinya peningkatan inilah kita memulai hidup baru dengan kehidupan yang lebih islami, kehidupan sesuai syari’at Islam, kehidupan yang diridhoi oleh Allãh ‘Azza wa Jallã.

Dan mari kita kembali bergiat dalam amal-amal shalih seraya memanjatkan do’a: semoga Allãh Subhanahu wa Ta’alã berkenan menerima amal ibadah kita dan masih mentaqdirkan kita untuk dipertemukan kembali dengan Ramadhan-Ramadhan berikutnya. Ãmïn, ãmïn ya Rabb al ‘alamïn.

Wallãhu a’lam bish shawab.