Halaman

Senin, 28 Juli 2014

Kohesi Sosial dan Urgensi Saling Memaafkan

KOHESI SOSIAL DAN URGENSI SALING MEMAAFKAN
Oleh: Mokh. Ngisom Musurur


Momentum yaumul haflah 'Id al-Fitr (hari raya Idul Fitri) 1435 H tahun ini kebetulan bertepatan dengan tahapan hajatan Pemilu Presiden 2014. Dalam rangkaian tahapan kegiatan Pilpres tersebut, kita sama-sama menyaksikan adanya kompetisi dan kontestasi yang hebat, kohesi sosial dan persaingan politik head to head yang dahsyat, perbedaan dan pertentangan yang sengit sangat. Di sinilah terbuka peluang di antara kita melakukan kesembronoan (kecerobohan) dalam pergaulan hidup dengan sesama hamba Allah. Bisa jadi telah terjadi perang opini yang tidak kesemuanya sehat dan bermanfaat. Diskusi yang tidak keseluruhannya akademik dan ilmiah. Perdebatan yang tidak seutuhnya matang dan dewasa. Pikiran dan pemikiran yang saling menegasi. Masing-masing pihak di antara kita merasa lebih baik, merasa lebih benar. Masing-masing pihak di antara kita merasa dilukai dan diciderai. Masing-masing pihak di antara kita merasa disakiti dan didholimi. Sangat dimungkinkan disengaja atau tidak disengaja terjadinya aksi saling mencaci maki, saling menghina, saling ber-su’udzon, saling melempar kata-kata kotor dan kasar, saling hasud dan hasad, saling menebar rumor dan kabar kabur. Bahkan yang lebih ekstrem menggunakan cara-cara yang tidak halal dalam merebut kemenangan, saling menjegal lawan, hingga mengumbar berita-berita bohong, black campaign, sampai ketegaan memakan daging saudaranya sendiri dengan fitnah-fitnah keji yang dihembuskan.... Sudah jelas hal tersebut diduga kuat mengandung kekeliruan, kekhilafan, kesalahan, dan perbuatan dosa.

Halalbihalal dan Makna Penghapusan Dosa

Menyangkut dosa-dosa kita kepada Allah, kita dapat mengirimkan proposal dan menyelenggarakan permohonan ampun langsung secara vertikal dan secara pribadi dalam kerangka habl min Allah (hubungan dengan Allah). Kalau dosa-dosa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, asalkan kita memiliki niat yang kuat untuk memohon ampun kepada-Nya, untuk ber-taubatan nasuha, Allah Al-Ghafuur, Allah Al-Ghaffaar, Allah Al-‘Afwu, Allah Yang Maha Pengampun, niscaya pasti mengampuni dosa-dosa para hamba-Nya. Salah satu firman-Nya dalam Al Qur’an Surah Az-Zumar (39) ayat 53 Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang menyeru kepada hamba-hamba-Nya yang berdosa dan suka melampaui batas agar tidak berputus harapan akan rahmat dan pengampunan-Nya. Bahkan Allah Azza wa Jalla menegaskan bahwa sesugguhnya Dia mengampuni dosa-dosa semuanya, kecuali dosa syirik.
Kita juga mengerti dan memahami adanya begitu banyak “lembaga pengampunan” Allah yang dapat menghapuskan dosa. Sebagaimana kita ketahui bahwa Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang menjadikan banyak amalan sebagai wasilah penghapus dosa. Amalan tersebut, antara lain: istighfar, taubat, sholat, puasa, hingga berbuat baik dan amal sholeh lainnya, semuanya dapat menghapus dosa.
Manusia –setidaknya kebanyakan dari mereka– dari satu sisi mudah dan suka berbuat dosa kesalahan, di sisi lain gampang tersinggung, sempit dada, dan sangat sulit memaafkan dosa kesalahan. Perangai makhluq, hamba dan khalifah di muka bumi yang namanya manusia yang sedemikian itu paradoxal atau sangat kontras sekali dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang suka, mudah, dan ringan sekali mengampuni dosa-dosa hamba-hamba-Nya yang memiliki azzam kukuh untuk memohon ampun kepada-Nya, seperti dikabarkan di atas.
Terdapat ushul fiqh yang perlu dimafhumi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni dosa kesalahan orang yang mempunyai dosa kesalahan kepada saudaranya sesama manusia sebelum saudaranya itu memaafkan. Di titik simpul ini kita harus menyadari perlunya dan memahami urgensinya halalbihalal dan saling memaafkan dalam kerangka habl min al-nas (hubungan dengan sesama manusia) dan lingkungan alam yang lebih luas. Berpijak pada dalil di atas tentu selaku mukmin yang sehat hati dan akal fikirannya pasti tidak akan pernah memelihara dendam serta merta membuang gengsi dan bersegera meminta halal dari orang yang pernah didholimi. Di antara kita yang melakukan kesalahan akan tidak menunda-nunda dalam melakukan prosesi halalbihalal. Halalbihalal artinya saling mema’afkan. Kita akan mendahului meminta maaf bila melakukan kesalahan dan mudah sekali memberi ketulusan permaafan untuk saudara-saudara kita yang memohon maaf atas kesalahan.
Dengan memohon ampun kepada Allah dan saling memaafkan di antara sesama manusia, semoga dapat menghapuskan dosa kita. Penghapusan dosa itu sendiri berdasarkan ijtihad yang saya lakukan, menurut saya maknanya bahwa kita karena ilmu dari Allah yang kita berjuang mencarinya, karena hidayah taufiq-Nya, karena doa-doa dan mujahadah kita di dalam hidup dan kehidupan ini kita senantiasa dibimbing untuk selalu berada di jalan lurus-Nya, kita selalu berada dalam tuntunan Rasul-Nya dalam menjalankan ibadah demi, untuk, dan karena Allah semata. Amal baik serta amal sholeh kita jauh melampaui amal buruk serta amal syaiyi’ah kita. Kita dihindarkan oleh Allah untuk tidak melakukan dosa-dosa besar. Kalaupun kita melakukan perbuatan dosa-dosa kecil karena kita memang manusia biasa yang tidak ma’sum kita disadarkan-Nya untuk langsung istighfar memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla dan mengubur perbuatan dosa tersebut dengan amal kebaikan yang jauh lebih besar dari dosa yang kita lakukan. Kita gampang dan dengan keikhlasan mudah sekali memaafkan dosa kesalahan sesama manusia; kita jauh dan terhindar dari penyakit iri dengki dendam. Dan apabila kita melakukan dosa kesalahan, kita dengan ketulusan bersegera, bergegas, dan tidak menunda-nunda untuk memohon maaf kepada sesama kita dengan segala konsekwensi logisnya. Begitu seterusnya, demikian selanjutnya hingga kita mampu mencapai maqom keadaan bebas ma’af. Keadaan dimana maaf tidak lagi diperlukan, karena relatif tidak kita lakukan hal-hal yang perlu dimintakan maaf dan dimaafkan. Jadi sebenarnya tidak terhapus dosa dan kesalahan yang kita adakan dahulu, melainkan kita berusaha tidak melakukan dosa dan kesalahan berbarengan dengan kita melakukan amal-amal kebaikan dan amal-amal kebenaran. Dan hal tersebut dengan istiqomah, dengan komitmen kita jaga dan lakukan disepanjang hayat kita.

Silaturrahim dan Persaudaraan Kebangsaan

Selaku manusia yang merupakan makhluk sosial dan sebagai warga bangsa kita harus meneguhkan komitmen kita untuk membangun silaturrahim dan akhlaq pergaulannya. Watak bangsa kita yang konon katanya sulit mengakui kesalahan dan tidak gampang memaafkan –sehingga diperlukan special timing untuk saling meminta dan memberi maaf seusai Ramadhan dan pada momentum Idul Fitri Syawal– harus kita kikis habis. Kita perkuat ukhuwwah islamiyah (silaturrahim dengan cara kaifiyah islamiyah) dan kita perkokoh ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan). Jangan biarkan kapal besar bernama Indonesia ini retak, apalagi sampai pecah. Terlalu mahal harga dan nilainya kalau sampai silaturrahim antara warga bangsa dan persaudaraan kebangsaan kita sampai retak apalagi pecah berantakan.
Dan setelah hiruk pikuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, dimana kita sebagai warga bangsa Indonesia sempat terbelah harus kembali bersatu pada momentum hari raya Idul Fitri ini. Jika hingga detik ini masih ada amarah yang membuncah di dalam hati, segeralah untuk dibuang jauh dan ditinggalkan. Bangunkan keyakinan dalam hati bahwa caci maki, iri dengki, permusuhan, kemarahan, balas dendam, dan sejenisnya itu akan menghancurkan pilar-pilar pembangunan yang dengan susah payah kita usahategakkan dengan harta, darah, dan nyawa serta melumpuhkan perjuangan meraih cita-cita kemerdekaan. Kemauan untuk merenda silaturrahim, membangun akhlaq pergaulan, dan persaudaraan kebangsaan serta kemampuan untuk saling memaafkan merupakan aspek-aspek penting yang dapat mendukung kita dalam melaksanakan pembangunan dalam rangka mencapai cita-cita kemerdekaan dan meraih kebahagiaan. The short, momentum ber-shilat al-rahim, memperkuat hubungan dan tali kasih sayang di hari raya Idul Fitri ini jangan sampai kita lewatkan tanpa kita manfaatkan untuk ber-halalbihalal, saling menghalalkan, saling memaafkan. Sehingga, di hari Lebaran ini, lapanglah dada kita dan leburlah dosa-dosa kita. Insya Allah.
Taqabalallahu minna waminkum. selamat hari raya Idul Fitri 1435 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin.
Wallaahu a'lam bish-shawab.

Sabtu, 01 Februari 2014

Tentang Kiat Mengubah Dunia

KIAT MENGUBAH DUNIA
Oleh: Cak Ngisom (@mokh_ngisom_msr)

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” (Q.S. Ar-Raad : 11)

Image: https://www.facebook.com/GAwakening/photos_albums 

Berubah mulai dari diri sendiri —sudah barang tentu perubahan ke arah yang lebih benar dan baik walaupun terkadang terasa sulit untuk dijalankan. Berubah semacam itu jelas adalah tindakan yang sangat berarti dan harus kita lakukan untuk memaknai hidup dan kehidupan. Ada pelajaran yang baik dari satu tulisan mengharukan yang terpahat di atas sebuah makam di Westminster Abbey, Inggris dengan catatan tahun 1100 Masehi (Jemy V. Confindo, Wisdom in The Air – Rahasia Untuk Mengubah Dunia, LIONMAG  The Inflight Magazine of Lion Air, Edisi Januari 2014, hlm. 24 (http://lion-mag.com/rahasia-untuk-mengubah-dunia/)). 
Pesan itu sungguh mengharukan dan dapat kita jadikan bahan refleksi dan referensi untuk intropeksi serta inspirasi bagi yang berniat memberi arti dalam hidup ini. Isi pesan tersebut kurang lebih sebagai berikut:
Ketika aku masih muda dan bebas berimajinasi tanpa batas, aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia, kedewasaan dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah. Maka cita-cita itupun kusederhanakan wawasannya, kupersempit jangkauannya; lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku saja. Tetapi tampaknya ini terlampau berat dan hasrat itupun tiada hasilnya. Ketika aku mulai memasuki usia senja, dengan semangatku yang masih tersisa dan dalam upayaku yang terakhir, aku bertekad untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. Namun sayangnya, sedikitpun mereka tidak mau berubah! Dan kini sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba aku menyadari: “Andaikan dahulu yang pertama-tama kuubah adalah diriku sendiri, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi, semangat, dorongan, dan kegigihan mereka, bisa jadi akupun mampu memperbaiki negeriku; kemudian siapa tahu, aku pun bahkan bisa mengubah dunia!”
Thus, let’s change ourselves if we want to change the world now. Just right now. Once again, mari berubah mulai dari diri kita sendiri, mulai dari hal yang kecil dan sederhana, dan mulailah mulai saat ini juga tanpa menunda-nunda. Begitulah harusnya diri kita apabila kita berharap keluarga, masyarakat, bangsa kita dan dunia ini berubah lebih baik. Insya Allah, Allah Azza wa Jalla memberikan hidayah taufiq dan kekuatan untuk suatu niat yang baik. Aamiin.